MAKALAH
SEJARAH ARSITEKTUR ISLAM
DI JAWA
Di Susun Oleh :
NUR MEGA
ALAMSYAH
(1104591)
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2012
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kkami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karna berkat
rahmat-Nya lah kami dapat menyelesiakan tugas makalah sejarah arsitektur di jawa ini. Solawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Tujuan
penulis
membuat makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas Mata Kuliah Sejarah Arsitektur.
Penulis
sadari makalah ini jauh dari sempurna, karna
kami masih dalam tahap belajar. Mohon
maaf yang sebesar-besarnya bila dalam
penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Mudah-mudahan
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya, umumnya bagi kita
semua.
Amin
I. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang mengatur
hubungan antara manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya. Islam lahir
dengan membawa ajarannya yang akan menciptakan kebaikan dan kedamaian. Dengan
memperlihatkan ikhtiyar Islam untuk masuk di Jawa secara kultural, bukan dengan
paksaan. Dengan berbagai media penyampaian, Islam berhasil menyebar segala
penjuru. Ketika Islam masuk ke tanah Jawa, Islam muncul bersama nilai-nilai
agama yang dapat diterima oleh Masyarakat.
Nilai-nilai Islam yang melekat pada
kebudayaan Jawa memang seolah telah menjadi kesatuan yang sulit dipisahkan
dalam berbagai bidang nilai Islam mampu memberikan pengaruhnya.
Dalam makalah ini sedikit banyak
akan diuraikan bagaimana sejarah arsitektur dalam Islam seiring penyebaran
Islam di tanah Jawa, banyak bangunan-bangunan yang mengandung nilai-nilai
keislaman.
II. PEMBAHASAN
A. Pra sejarah arsitektur
Dapatlah kita lihat bangunan
Indonesia pada zaman dahulu terbuat dari bahan yang tidak tahan lama.
Para ahli arsitektur tidak beruntung karena bahan-bahan hayati ini tidak dapat
bertahan lama dalam iklim Indonesia. Bangunan-bangunan kuno yang masih bertahan
lama yaitu pada bangunan yang terbuat dari bangunan batu. Bangunan batu tertua
di Indonesia dibangun pada akhir zaman prasejarah, lebih kurang 2.000
tahun yang lalu. Punden Berundak dari batu dan gentang lahan yang berkaitan
untuk upacara dibangun pada lereng pegunungan. Punden Berundak ini digunakan
pada periode klasik. Di beberapa wilayah nusantara, punden Berundak ini masih
digunakan untuk kegiatan keagamaan.
Pada periode klasik Indonesia
dimulai dengan berdirinya candi batu dan batu bata yang menaungi lambang
dewa-dewa Hindu dan Budha. Contoh tertua, kerangka tahun awal abad ke-8
dirancang oleh arsitek Indonesia yang sudah terbiasa bekerja dengan bahan
permanen. Menggunakan paduan ragam hias dan lambang pribumi dan asing. Mereka
mengungkapkan kembali konsep prasejarah Indonesia mengenai hubungan antar
manusia, dewa, dan alam semesta. Pemandangan alam, terutama pegunungan,
merupakan perpaduan dalam pandangan alam semesta mereka.
Terdapat sedikit contoh bentuk
arsitektur periode klasik selain candi. Contoh ini meliputi tempat pemandian
dan reruntuhan yang mengundang pertanyaan dari gugus ratu Baka yang mungkin
digunakan untuk beberapa maksud, sebagai tempat tinggal para bangsawan, tempat
upacara umum dan terakhir tempat kegiatan keagamaan penganut Buda dan Hindu.
Sisa bangunan dari Jawa Timur menunjukkan bahwa beberapa wilayah kediaman
bangsawan abad ke-14 sebagian dibangun dari bata dan ubin. Sisa arsitektur
periode klasik terpusat di Jawa, tetapi beberapa tempat di Sumatera, Bali dan Kalimantan
menunjukkan data yang patut dipertimbangkan.
Selama periode klasik di
Indonesia lebih kurang 800 tahun lamanya, bidang arsitektur berevolusi
sebagai reaksi terhadap perubahan agama, politik, dan kecenderungan umum
manusia dalam menginginkan perubahan gaya. Beberapa bangunan periode ini
dianggap sebagai bagian dari warisan kebudayaan dunia.
Contoh arsitektur pada bangunan
candi zaman klasik dapatlah kita lihat bahwa konsep dasar rancangannya adalah
keinginan menciptakan tiruan gunung pada pusat alam semesta, tempat roh para
dewa dapat dibujuk untuk menjelma menjadi patung atau lingga yang ditempatkan
dalam ruangan yang menyerupai gua.
Arsitektur Indonesia klasik
paling awal terdiri atas tempat suci Hindu, dibangun di gunung api Jawa Tengah
secara raga dan perlambang, bangunan ini bersandar pada kepercayaan bahwa
gunung merupakan tempat kekuatan adi kodrati. Setelah “elit” yang berkuasa
mulai membangun dengan batu, tempat bangunan mulai menyebar ke daratan rendah
perluasan ini mungkin berasal dari paduan semangat keinginan membuat tempat
keagamaan lebih mudah dicapai Masyarakat umum dan pengakuan untuk “elite” yang
berkuasa bahwa hubungan dengan kekuatan dewa secara nyata menambah kekuasaan
duniawi mereka.
Dalam bangunan candi terdahulu ada
pula yang menggunakan kayu sebagai penyangga luar, diantaranya dapatlah kita
lihat pada arsitektur kayu Indonesia dari salah satu relief Borobudur
(serambi pertama, sisi timur, sayap utara, lubang pengatur suhu diatas).
Bangunan-bangunan ini memakai struktur penahan beban bagian luar dengan
penyangga berbentuk seperti tiang berwujud manusia (canyatid) dalam bentuk
satwa liar. Rancangan ini mirip dengan bangunan di India selatan (abad ke 4-9),
tetapi saat arsitek Jawa membangun dengan batu, teknik para arsitek setempat
mulai menyimpang dari model India. Sementara orang Jawa menggunakan bangunan
pendukung dari luar, mereka mengabaikan penggunaan sosok satwa sebagai
penyangga dan menggantikannya dengan tiang, tahap ini tampak pada
relief-relief. Saat orang Jawa menggunakan batu sebagai bahan bangunan,
bangunan penahan berat bagian luar menjadi berlebih, tiang dan penyangga diubah
menjadi unsur hiasan dinding luar.
Bentuk bangunan arsitektur pada
zaman prasejarah diantaranya yaitu bangunan-bangunan candi ; candi Borobudur,
candi Rara Jonggrang, candi Merak, candi Sewu, candi Palosan, candi Kidal dan
sebagainya. Candi-candi tersebut yang terbuat dari batu-batuan pada zaman
klasik terdahulu.
B. Sejarah Arsitektur dalam Islam
1.
Arsitektur masjid
Dalam sejarah peradaban Islam,
masjid dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam Islam, yaitu dengan
dibangunnya masjid Quba oleh Rasulullah SAW sebagai masjid yang pertama.
Awal mula bangunan masjid Quba
sangatlah sederhana sekali, dengan lapangan terbuka sebagai intinya dan
menempatkan mimbar pada sisi dinding arah kiblat, serta di tengah-tengah
lapangan terdapat sumber air untuk tujuan bersuci. Masjid Quba ini merupakan
karya spontan dari Masyarakat muslim di Madinah pada waktu itu.
Bangunan masjid Quba ini disebut oleh
para ahli sebagai masjid Arab asli. Namun kiranya arti lebih luas adalah bahwa
masjid Quba telah menampilkan makna dan fungsi minimal yang harus terpenuhi
dalam sebuah bangunan masjid, yakni adanya tempat yang lapang untuk tempat
berkumpul untuk melaksanakan ibadah. Sementara itu bangunan masjid yang lain
tumbuh di berbagai wilayah Islam sejalan dengan perkembangan wilayah Islam.
Bangunan masjid-masjid itupun mengalami penambahan menara, makam di sekitar
masjid, maskura, hiasan kaligrafi, interior yang indah yang memperlihatkan
perbedaan tampilan fisiknya. Hal tersebut seperti terlihat pada kubah
masjid Jami’ di Buara dengan model setengah bola. Menara spiral di Samim,
Minaret masjid sultan Kaitbey, interior masjid Ibnu Thoulun, termasuk bentuk atap
bersirap pada bangunan masjid di Jawa.
Bentuk bangunan masjid dengan model
atap tingkat tiga diterjemahkan sebagai lambang keislaman seseorang yang
ditopang oleh 3 aspek, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Adapun Norcholis masjid
menafsirkannya sebagai lambang 3 jenjang perkembangan penghayatan keagamaan
manusia, yaitu tingkat dasar permulaan, tingkat menengah, dan tingkat akhir
yang maju dan tinggi yang sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan
ihsan.
Selain itu arsitektur masjid di Jawa
biasanya disekitarnya juga terdapat bangunan makam. Biasanya makam yang
terdapat di sekitar masjid adalah makam para tokoh Islam yang hidup di sekitar
masjid tersebut. Di Jawa makam merupakan salah satu tempat yang dianggap
sakral, bahkan sebagian cenderung dikeramatkan.
2.
Arsitektur ruang makam-masjid
Struktur ruang makam-masjid Kudus
tidak memiliki hierarki yang sederhana. Kompleks ini dibangun dengan dinding
keliling bata merah, seperti juga di Demak. Rancangan profil ini mirip dengan
dinding kompleks candi-candi di Jawa Timur, candi penataran dan candi tikus.
Setiap pintu masuk yang melalui dinding-dinding tersebut hampir selalu ditandai
oleh bangunan gentar atau paduraksa. Tata ruang yang berlapis-lapis dan
membentuk segi empat oleh dinding batu bata menunjukkan prosesi yang jelas
memperlihatkan terhormatnya derajat wilayah makam. Di Kudus terdapat tidak
kurang dari tujuh lapis gerbang dan halaman berdinding. Di Demak, dapat
dijumpai pula tatanan ruang berlapis-lapis, namun tidak serumit makam sunan
Kudus. Yang menarik di Demak adalah kejelasan struktur ruang yang dibentuk oleh
tembok keliling segi empat dengan empat gerbang penjuru angin struktur yang
jelas ini menyebabkan masjid nampak lebih menonjol monumentalisasinya. Sarean
dikompleks masjid ini nampak sebagai struktur pendukung yang memiliki jalur
prosesi sendiri yang membuat tata ruang berlapis-lapis adalah sarean utama yang
dibangun dengan struktur cungkup. Struktur ini diyakini memberi perlindungan
bagi makam sebagaimana atap melindungi tempat tidur. Orang Jawa melihat kuburan
sebagai tempat yang disucikan dari kegiatan harian.
Lapisan ruang-ruang yang perlu
dilalui dari prosesi ziarah ini dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki
kemiripan dengan prosesi menuju tempat tinggal raja yang bersangkutan. Secara tata
ruang sarean dan dalem alias kelengahan sultan selintas tidak berbeda. Dasar
dari struktur ruang yang mengembangkan pada makam-makam sunan Kudus, ratu
Kalinyamat, hingga panembahan senapati menunjukkan gejala yang sama yaitu
sinkretisme antara konsep candi Hindu, penghormatan leluhur asli jawa dengan
fasilitas dan ritual Islam. Elemen-elemen pribumi nampak pada rancang bangun
makam berundak yang mengingatkan pada punden Berundak. Elemen-elemen Hindu
diungkapkan pada gubahan atap masjid maupun struktur ruang berdinding dengan
paduraksa dan bentar. Semua terpadu untuk memberi tempat dimana kesucian badan
disyaratkan dalam mengikuti proses ritual didalamnya.
Namun dalam Islam sebenarnya
terdapat tradisi penguburan jenazah yang didasarkan pada hadits Nabi seperti :
1.
Kuburan lebih baik ditinggikan dari tanah sekitar agar mudah diketahui (HR.
Baihaqi)
2.
Membuat tanda kubur dengan batu atau benda lain pada bagian kepala (HR. Abu
Daud)
3.
Dilarang menembok kubur (HR. At Tarmidzi dan Muslim)
4.
Dilarang membuat tulisan di atas kubur (HR. At Tarmidzi dan Muslim)
5.
Dilarang membuat bangunan di atas kubur (HR. Ahmad dan Muslim)
6.
Dilarang menjadikan kuburan sebagai masjid (HR. Bukhari Muslim)
3.
Arsitektur bangunan rumah
Dari asal-usulnya para ahli sejarah
masih belum mempunyai kesatuan pendapat tentang hal ini. Sebagian riwayat telah
menceritakan betapa sukarnya menentukan wujud atau bentuk rumah orang jawa pada
mulanya. Ada yang mengatakan bahwa hal itu diceritakan dari mulut ke mulut
(lesan), dari kakek ke cucu, cicit dst. Tapi ada pula yang mengatakan bahwa
rumah orang Jawa pada mulanya dibuat dari bahan batu. Dari pendapat yang
bermacam-macam itu dapat diambil kesimpulan, bahwa hal-hal tersebut masih gelap
dan belum berhasil dipecahkan sampai sekarang.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa
beberapa orang yang ahli telah membuktikan bahwa teknik penyusunan rumah jawa
seperti teknik penyusunan batu-batu candi yang cukup banyak kita jumpai. Tetapi
bukan rumah orang jawa yang meniru bentuk candi, melainkan bentuk candilah yang
meniru rumah orang jawa. Karena candi yang kita saksikan sekarang ini baru
berdiri pada abad ke-8 sedangkan sebelum agama Hindu dan Budha datang ke sini,
nenek moyang kita pasti telah mempunyai tempat tinggal yang cukup permanen
untuk melindungi diri dan keluarganya.
Salah satu contoh tata ruang rumah
tradisional kudus yang mempunyai keistimewaan dengan adanya ukuran yang
menghiasi hampir di setiap bagian bangunan ruangan di ruang ukir kudus terbagi
menjadi 3 yaitu :
1.
Jago satru à bagian ruang depan untuk menerima tamu
2.
Godongan à untuk menyimpan harta kekayaan
3.
Pawon à ruangan untuk tempat kegiatan sehari-hari bagi keluarga
4.
Arsitektur dalam tata ruang kota
Arsitektur Islam tetap menaruh
kepercayaan pada bahan-bahan bangunan sederhana dan mempergunakan
kekuatan-kekuatan elemental alam seperti cahaya dan angin untuk sumber-sumber
energinya. Ia membawa alam ke dalam kota dengan mewujudkan kembali kelembutan,
keselarasan dan ketenteraman alam di dalam halaman-halaman luas masjid dan
rumah.
Sebagai sebuah karya seni, maka
kemampuan para arsitek muslim Jawa dalam mengakomodasi dua unsur kebudayaan
tidak hanya dalam bentuk masjid dan rumah, tetapi telah pula merambah pada
lingkup yang lebih luas, yakni pada tata ruang sebuah wilayah atau penataan
kota. Sejak Islam memiliki sebuah wilayah, maka sebenarnya sejak itu umat Islam
telah mulai memiliki kemapuan dalam menata wilayahnya. Sama halnya ketika umat
Islam memiliki wilayah di jawa ini, maka mereka pun mulai menata kota dengan
perangkat bangunan yang menjadi kepentingannya.
Sebagai sebuah kerajaan Islam jawa,
Mataram yang merupakan kelanjutan dari penguasa kerajaan sebelumnya (Hindu
Majapahit) memiliki tata bangunan kota yang sangat dipengaruhi oleh nilai lokal
yang telah ada, dan tata nilai baru yang dibawa oleh Islam.
Oleh karenanya tata ruang kota di
Jawa pasca kerajaan Hindu jawa menggunakan konsep tata ruang yang berlandaskan
pada filosofi jawa yang muatan isinya memakai konsep Islam. Hal ini
terlihat dengan penggunaan konsep mancapat dalam tata ruang desa-desa di jawa,
tetapi unsur-unsur macapatnya dengan nilai ajaran Islam yaitu dengan
menempatkan keraton, masjid, pasar dan penjara dalam satu komunitas bangunan
yang berpusat pada alun-alun. Penataan kota semacam ini sampai sekarang masih
terus dapat disaksikan, dimana hampir setiap kota di Jawa yang dibangun pada
masa kerajaan Islam, pusat pemerintahannya senantiasa berada dipusat kota yang
terdapat alun-alun didepannya, masjid di sebelah baratnya, penjara dan pasar
disekitarnya.
Kecuali itu ciri khas jalan-jalan
yang membelah dari pusat alun-alun dan perkampungan yang dihuni oleh komunitas
orang santri yang disebut kauman telah menjadi ciri khas tata kota di jawa.
Bentuk arsitektur tata kota yang lain dapat kita lihat pada bangunan tamansari
dan hiasan-hiasan pada keraton seperti pada bangunan keraton yogya yang
memiliki hiasan kaligrafi atau huruf-huruf Arab, gapura, masjid dan benteng.
III. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat
semoga bermanfaat bagi pembacaan umumnya dan bagi penulis khususnya, saya sadar
dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu kami
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun, sekian dari
kami kurang lebihnya mohon maaf, dan saya ucapkan banyak terima kasih atas
perhatiannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar